Monday, September 15, 2008

Mari I'tikaf

I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.

Pengajian Ramadhan : I'tikaf

I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان ، متفق عليه .

" Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Rasulullah saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما ـ رواه البخاري.

" Dari Abu Hurairah R.A. ia berkata, Rasulullah SAW. biasa beri'tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri'tikaf selama dua puluh hari. (Hadist Riwayat Bukhori).

Sebagian ulama mengatakan bahwa ibadah I'tikaf hanya bisa dilakukan dengan berpuasa.

Tujuan I'tikaf.

1. Dalam rangka menghidupkan sunnah sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba.

2. Sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah swt.

3. Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan ibadah seribu bulan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat 97:3.

4. Membina rasa kesadaran imaniyah kepada Allah dan tawadlu' di hadapan-Nya, sebagai mahluk Allah yang lemah.

Rukun I'tikaf.

I'tikaf dianggap syah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut :

1. Niat. Niat adalah kunci segala amal hamba Allah yang betul-betul mengharap ridla dan pahala dari-Nya.

2. Berdiam di masjid. Maksudnya dengan diiringi dengan tafakkur, dzikir, berdo'a dan lain-lainya.

3. Di dalam masjid. I'tikaf dianggap syah bila dilakukan di dalam masjid, yang biasa digunakan untuk sholat Jum'ah. Berdasarkan hadist Rasulullah saw.

" ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـ رواه أبو داود.

"Dan tiada I'tikaf kecuali di masjid jami' (H.R. Abu Daud)

4. Islam dan suci serta akil baligh.


Cara ber-I'tikaf.

1. Niat ber-I'tikaf karena Allah. Misalnya dengan mengucapkan : Aku berniat I'tikaf karena Allah ta'ala.

نويت الاعتكاف لله تعالى

2. Berdiam diri di dalam masjid dengan memperbanyak berzikir, tafakkur, membaca do'a, bertasbih dan memperbanyak membaca Al-Qur'an.

3. Diutamakan memulai I'tikaf setelah shalat subuh, sebagaimana hadist Rasulullah saw.

وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه .

"Dan dari Aisyah, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kenudian masuk ke tempat I'tikaf. (H.R. Bukhori, Muslim)

4. Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna. Dan disunnahkan memperbanyak membaca:

أللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عنا

Ya Allah sesungguhnya Engkau Pemaaf, maka maafkanlah daku.


Waktu I'tikaf.

1. Menurut mazhab Syafi'i I'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya seseorang ber-I'tikaf. Begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan ia niat I'tikaf maka syahlah I'tikafnya.

2. I'tikaf dapat dilakukan selama satu bulan penuh, atau dua puluh hari. Yang lebih utama adalah selama sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh hadist di atas.


Hal-hal yang membatalkan I'tikaf.

1. Berbuat dosa besar.

2. Bercampur dengan istri.

3. Hilang akal karena gila atau mabuk.

4.Murtad (keluar dari agama).

5. Datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.

6. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I'tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah.

7. Orang yang sakit dan membawa kesulitan dalam melaksanakan I'tiakf.


Hikmah Ber-I'tikaf .

1. Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah.

2. Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan jiwa.

3. Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.

4. Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadar.

5. I'tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid.

6. Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan.



Oleh: Dewan Asatidz
Sumber: h ttp://www.pesantrenvirtual.com

Friday, September 5, 2008

Rasa Sakit Ketika Sakaratul Maut Menjemput

"Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata: 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.' (Niscaya kamu akan merasa sangat ngeri) (QS. Al-Anfal {8} : 50).

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata): 'Keluarkanlah nyawamu!'

Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengata kan terhadap Alloh (perkataan) yang tidak benar dan karena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya". (Qs. Al-An'am : 93).

Cara Malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Alloh, maka Malaikat Izrail mencabut nyawa secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan.

"Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang". (H.R. Ibnu Abu Dunya).

Di dalam kisah Nabi Idris a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan sholat sampai puluhan raka'at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak, setiap malam naik ke langit. Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail.

Maka bermohonlah ia kepada Alloh Swt agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Alloh Swt, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris.

"Assalamu'alaikum, yaa Nabi Alloh". Salam Malaikat Izrail,

"Wa'alaikum salam wa rahmatulloh". Jawab Nabi Idris a.s.

Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah Malaikat Izrail.

Seperti tamu yang lain, Nab i Idris a.s. melayani Malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan bersama, namun di tolak oleh Malaikat Izrail.

Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya "menghadap". Alloh sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja.

Pada suatu hari yang cerah, Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan "tamunya" itu ke sebuah perkebunan di mana pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan. "Izinkanlah saya memetik buah-buahan ini untuk kita". pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi Idris a.s).

"Subhanalloh, (Maha Suci Alloh)" kata Nabi Idris a.s.

"Kenapa?" Malaikat Izrail pura-pura terkejut.

"Buah-buahan ini bukan milik kita". Ungkap Nabi Idris a.s.

Kemudian Beliau berkata: "Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram".

Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu. Siapakah gerangan pikir Nabi Idris a.s.

"Siapakah engkau sebenarnya?" tanya Nabi Idris a.s.

"Aku Malaikat Izrail". Jawab Malaikat Izrail.< /FONT>

Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya.

"Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku?" selidik Nabi Idris a.s serius.

"Tidak" Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.

"Atas izin Alloh, aku sekedar berziarah kepadamu". Jawab Malaikat Izrail.

Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam.

"Aku punya keinginan kepadamu". Tutur Nabi Idris a.s

"Apa itu? Katakanlah!". Jawab Malaikat Izrail.

"Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Alloh SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku". Pinta Nabi Idris a.s.

"Tanpa seizin Alloh, aku tak dapat melakukannya" , tolak Malaikat Izrail. Pada saat itu pula Alloh SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris a.s.

Dengan izin Alloh Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris a.s. sesudah itu beliau wafat.

Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia kepada Alloh SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali. Alloh mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.

"Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku?" Tanya Malaikat Izrail.

"Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti". Jawab Nabi Idris a.s.

"Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu". Kata Malaikat Izrail.

MasyaAlloh, lemah-lembutnya Malaikat Maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris a.s. Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita? Siapkah kita untuk menghadapinya?


From : tamel@megalife.co.id

Wednesday, September 3, 2008

Pengemis Buta dan Rasulullah SAW

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?

Aisyah RA menjawab,Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja. Apakah Itu?, tanya Abubakar RA. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil menghardik, Siapakah kamu? Abubakar RA menjawab,Aku orang yang biasa (mendatangi engkau). Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku, bantah si pengemis buta itu.

Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah.
Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

"Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi"

source: syafril@bks.sulindafin.com

Thursday, May 22, 2008

Masjid Al-Aqsa dan Dome of The Rock

editan_aqsa1.JPG

Melihat pada gambar di atas, tentunya ramai yang menyangka bahawa masjid di atas adalah Masjid Al-Aqsa. Jika diperhatikan dengan teliti, kita akan dapat melihat sebuah lagi kubah berwarna hijau yang kelihatan agak samar-samar. Percayalah, kubah yang berwarna hijau itulah Masjid Al-Aqsa yang sebenarnya.

Masjidil Aqsa merupakan kiblat pertama bagi Umat Islam sebelum dipindahkan ke Kaabah dengan perintah Allah SWT. Kini

ia berada di dalam kawasan jajahan Yahudi. Dalam keadaan yang demikian, pihak Yahudi telah mengambil kesempatan untuk mengelirukan Umat Islam dengan mengedarkan gambar Dome of The Rock sebagai Masjidil Aqsa. Tujuan mereka hanyalah satu, iaitu untuk meruntuhkan Masjidil Aqsa yang sebenarnya. Apabila Umat Islam sendiri sudah terkeliru dan sukar untuk membezakan Masjidil Aqsa yang sebenarnya. Maka semakin mudahlah tugas mereka untuk melaksanakan perancangan tersebut.

Lihat pula gambar di bawah, berik

ut adalah gambar sebenar Masjidil Aqsa pada jarak yang lebih dekat. Betapa jauhnya perbezaan antara Dome of The Rock jika dibandingkan dengan Masjidil Aqsa. Hanya Jauhari juga yang mengenal Manikam

Agenda Israel menghapuskan Masjidil Aqsa

Berikut disertakan juga terjemah

an daripada surat yang dikarang dan dikirimkan oleh Dr. Marwan kepada ketua pengarang “Al-Dastour” harian. Berhati-hatilah dengan perancangan zionist tentang Masjidil Aqsa. Jangan biarkan mereka berjaya dengan peracangan mereka.
Terjemahan surat Dr. Marwan:

Terdapat beberapa kekeliruan di antara Masjidil Aqsa dan The Dome of The Rock. Apabila sahaja disebut tentang Masjidil Aqsa di dalam media tempatan mahupun antarabangsa, gambar The Dome of The Rock pula yang dipaparkan. Sebab utama ia dilakukan adalah bagi mengabaikan orang ramai dimana ianya adalah perancangan Israel. Tinjauan ini diperolehi semasa saya tinggal di USA, dimana saya telah dimaklumkan bahawa Zionis di Amerika telah mencetak dan mengedarkan gambar tersebut dan menjualkannya kepada orang arab dan Muslim. Kadangkala dijual dengan harga yang murah bahkan kadangkan diberikan secara percuma supaya Muslim dapat mengedarkannya dimana-mana sahaja. Tak kira di rumah mahupun pejabat.

Ini meyakinkan saya bahawa Israel ingin menghapuskan gambaran Masjid Al-Aqsa dari ingatan umat Islam supaya mereka dapat memusnahkannya dan membina kuil mereka tanpa sebarang publisiti. Sekiranya terdapat pihak yang membangkang atau merungut, maka Israel akan menunjukkan gambar The Dome of The Rock yang masih utuh berdiri, dan menyatakan bahawa mereka tidak berbuat apa-apa. Rancangan yang sungguh bijak! Saya juga merasa amat terperanjat apabila bertanya kepada beberapa rakyat arab, Muslim, bahkan rakyat Palestin kerana mendapati mereka sendiri tidak dapat membezakan antara kedua bangunan tersebut. Ini benar-benar membuatkan saya berasa kesal dan sedih kerana hingga kini Israel telah berjaya dalam perancangan mereka.
Dr. Marwan Saeed Saleh Abu Al-Rub Associate Professor, Mathematics Zayed University Dubai

Lebih jelasnya lihat gambar berikut.

editan_al_haram_al_sharif_2.JPG

editan_al_aqsa_mosque.JPG

Sumber : www.darulnuman.com
salmanalfarisy.wordpress.com

Thursday, April 10, 2008

Air Mata Rosulullah ...

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam."Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk,"Maafkanlah, ayahku sedang demam",kata Fatimah yang membalikkan
badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku,
orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri,
tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit
dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
"Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, " kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir,
wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:
"Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di
dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh
Rasulullah ditarik.

Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya
menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah
mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam
dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?"
Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata
Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang
tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan
dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku"

"peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Diluar
pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan
telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii,ummatii, ummatiii? " - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

From: edni_rosliana@yahoo.co.id

Tuesday, February 5, 2008

Riddle of 'Baghdad's batteries'

Arran Frood investigates what could have been the very first batteries and how these important archaeological and technological artefacts are now at risk from the impending war in Iraq.

Battery, P and R Museum Hildesheim
I don't think anyone can say for sure what they were used for, but they may have been batteries because they do work
Dr Marjorie Senechal
War can destroy more than a people, an army or a leader. Culture, tradition and history also lie in the firing line.

Iraq has a rich national heritage. The Garden of Eden and the Tower of Babel are said to have been sited in this ancient land.

In any war, there is a chance that priceless treasures will be lost forever, articles such as the "ancient battery" that resides defenceless in the museum of Baghdad.

For this object suggests that the region, whose civilizations gave us writing and the wheel, may also have invented electric cells - two thousand years before such devices were well known.

Biblical clues

It was in 1938, while working in Khujut Rabu, just outside Baghdad in modern day Iraq, that German archaeologist Wilhelm Konig unearthed a five-inch-long (13 cm) clay jar containing a copper cylinder that encased an iron rod.

THE KEY COMPONENTS
Batteries dated to around 200 BC
Could have been used in gilding

The vessel showed signs of corrosion, and early tests revealed that an acidic agent, such as vinegar or wine had been present.

In the early 1900s, many European archaeologists were excavating ancient Mesopotamian sites, looking for evidence of Biblical tales like the Tree of Knowledge and Noah's flood.

Konig did not waste his time finding alternative explanations for his discovery. To him, it had to have been a battery.

Though this was hard to explain, and did not sit comfortably with the religious ideology of the time, he published his conclusions. But soon the world was at war, and his discovery was forgotten.

Scientific awareness

More than 60 years after their discovery, the batteries of Baghdad - as there are perhaps a dozen of them - are shrouded in myth.

"The batteries have always attracted interest as curios," says Dr Paul Craddock, a metallurgy expert of the ancient Near East from the British Museum.

"They are a one-off. As far as we know, nobody else has found anything like these. They are odd things; they are one of life's enigmas."

No two accounts of them are the same. Some say the batteries were excavated, others that Konig found them in the basement of the Baghdad Museum when he took over as director. There is no definite figure on how many have been found, and their age is disputed.

Most sources date the batteries to around 200 BC - in the Parthian era, circa 250 BC to AD 225. Skilled warriors, the Parthians were not noted for their scientific achievements.

"Although this collection of objects is usually dated as Parthian, the grounds for this are unclear," says Dr St John Simpson, also from the department of the ancient Near East at the British Museum.

"The pot itself is Sassanian. This discrepancy presumably lies either in a misidentification of the age of the ceramic vessel, or the site at which they were found."

Underlying principles

In the history of the Middle East, the Sassanian period (circa AD 225 - 640) marks the end of the ancient and the beginning of the more scientific medieval era.

Though most archaeologists agree the devices were batteries, there is much conjecture as to how they could have been discovered, and what they were used for.

How could ancient Persian science have grasped the principles of electricity and arrived at this knowledge?

Perhaps they did not. Many inventions are conceived before the underlying principles are properly understood.

The Chinese invented gunpowder long before the principles of combustion were deduced, and the rediscovery of old herbal medicines is now a common occurrence.

You do not always have to understand why something works - just that it does.


Enough zap

It is certain the Baghdad batteries could conduct an electric current because many replicas have been made, including by students of ancient history under the direction of Dr Marjorie Senechal, professor of the history of science and technology, Smith College, US.

"I don't think anyone can say for sure what they were used for, but they may have been batteries because they do work," she says. Replicas can produce voltages from 0.8 to nearly two volts.

Battery, Stephanie Yong
Could the batteries have been placed inside idols?
(Image by Stephanie Yong)
Making an electric current requires two metals with different electro potentials and an ion carrying solution, known as an electrolyte, to ferry the electrons between them.

Connected in series, a set of batteries could theoretically produce a much higher voltage, though no wires have ever been found that would prove this had been the case.

"It's a pity we have not found any wires," says Dr Craddock. "It means our interpretation of them could be completely wrong."

But he is sure the objects are batteries and that there could be more of them to discover. "Other examples may exist that lie in museums elsewhere unrecognised".

He says this is especially possible if any items are missing, as the objects only look like batteries when all the pieces are in place.

Possible uses

Some have suggested the batteries may have been used medicinally.

The ancient Greeks wrote of the pain killing effect of electric fish when applied to the soles of the feet.

The Chinese had developed acupuncture by this time, and still use acupuncture combined with an electric current. This may explain the presence of needle-like objects found with some of the batteries.

But this tiny voltage would surely have been ineffective against real pain, considering the well-recorded use of other painkillers in the ancient world like cannabis, opium and wine.

Other scientists believe the batteries were used for electroplating - transferring a thin layer of metal on to another metal surface - a technique still used today and a common classroom experiment.

This idea is appealing because at its core lies the mother of many inventions: money.

In the making of jewellery, for example, a layer of gold or silver is often applied to enhance its beauty in a process called gilding.

Grape electrolyte

Two main techniques of gilding were used at the time and are still in use today: hammering the precious metal into thin strips using brute force, or mixing it with a mercury base which is then pasted over the article.

These techniques are effective, but wasteful compared with the addition of a small but consistent layer of metal by electro-deposition. The ability to mysteriously electroplate gold or silver on to such objects would not only save precious resources and money, but could also win you important friends at court.

Let's hope the world manages to resolve its present problems so people can go and see them
Dr Paul Craddock
A palace, kingdom, or even the sultan's daughter may have been the reward for such knowledge - and motivation to keep it secret.

Testing this idea in the late seventies, Dr Arne Eggebrecht, then director of Roemer and Pelizaeus Museum in Hildesheim, connected many replica Baghdad batteries together using grape juice as an electrolyte, and claimed to have deposited a thin layer of silver on to another surface, just one ten thousandth of a millimetre thick.

Other researchers though, have disputed these results and have been unable to replicate them.

"There does not exist any written documentation of the experiments which took place here in 1978," says Dr Bettina Schmitz, currently a researcher based at the same Roemer and Pelizaeus Museum.

"The experiments weren't even documented by photos, which really is a pity," she says. "I have searched through the archives of this museum and I talked to everyone involved in 1978 with no results."

Tingling idols

Although a larger voltage can be obtained by connecting more than one battery together, it is the ampage which is the real limiting factor, and many doubt whether a high enough power could ever have been obtained, even from tens of Baghdad batteries.

One serious flaw with the electroplating hypothesis is the lack of items from this place and time that have been treated in this way.

"The examples we see from this region and era are conventional gild plating and mercury gilding," says Dr Craddock. "There's never been any untouchable evidence to support the electroplating theory."

He suggests a cluster of the batteries, connected in parallel, may have been hidden inside a metal statue or idol.

He thinks that anyone touching this statue may have received a tiny but noticeable electric shock, something akin to the static discharge that can infect offices, equipment and children's parties.

"I have always suspected you would get tricks done in the temple," says Dr Craddock. "The statue of a god could be wired up and then the priest would ask you questions.

"If you gave the wrong answer, you'd touch the statue and would get a minor shock along with perhaps a small mysterious blue flash of light. Get the answer right, and the trickster or priest could disconnect the batteries and no shock would arrive - the person would then be convinced of the power of the statue, priest and the religion."

Magical rituals

It is said that to the uninitiated, science cannot be distinguished from magic. "In Egypt we know this sort of thing happened with Hero's engine," Dr Craddock says.

Hero's engine was a primitive steam-driven machine, and like the battery of Baghdad, no one is quite sure what it was used for, but are convinced it could work.

If this idol could be found, it would be strong evidence to support the new theory. With the batteries inside, was this object once revered, like the Oracle of Delphi in Greece, and "charged" with godly powers?

Even if the current were insufficient to provide a genuine shock, it may have felt warm, a bizarre tingle to the touch of the unsuspecting finger.

At the very least, it could have just been the container of these articles, to keep their secret safe.

Perhaps it is too early to say the battery has been convincingly demonstrated to be part of a magical ritual. Further examination, including accurate dating, of the batteries' components are needed to really answer this mystery.

No one knows if such an idol or statue that could have hidden the batteries really exists, but perhaps the opportunity to look is not too far away - if the items survive the looming war in the Middle East.

"These objects belong to the successors of the people who made them," says Dr Craddock. "Let's hope the world manages to resolve its present problems so people can go and see them."


Source of the above article: BBC NEWS http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/1/hi/sci/tech/2804257.stm

The Iron Pillar from Delhi

Standing at the center of the Quwwatul Mosque the Iron Pillar is one of Delhi's most curious structures. Dating back to 4th century A.D., the pillar bears an inscription which states that it was erected as a flagstaff in honour of the Hindu god, Vishnu, and in the memory of the Gupta King Chandragupta II (375-413). How the pillar moved to its present location remains a mystery. The pillar also highlights ancient India's achievements in metallurgy. The pillar is made of 98 per cent wrought iron and has stood 1,600 years without rusting or decomposing.

The Iron Pillar from Delhi
7.3 m tall, with one meter below the ground; the diameter is 48 centimeters at the foot, tapering to 29 cm at the top, just below the base of the wonderfully crafted capital; it weighs approximately 6.5 tones, and was manufactured by forged welding.

Source: http://www.world-mysteries.com/sar_ironpillar.htm


Enigma of the Iron Pillar

B.N. Goswamy

The sight is so familiar: each time you are in the vicinity of the Qutab Minar in Delhi, you find groups of tourists gathered around a tall, sleekly tapering iron pillar in that complex, one person from the group standing with his or her back firmly against it, and trying to make the fingers of the two hands touch while holding the pillar in embrace. Very few succeed but, almost always, there is a feeling of merriment around, since terms are set within the group and each person is 'tested', as it were, for fidelity or truthfulness or loyalty, even longevity, it could be anything. When a person fails to make the contact between the fingers of the two hands wrapped around the pillar, squeals of delight go up. This has gone on for years, certainly ever since tourist guides came into being.

The Iron Pillar at Delhi seen through an arch.


The Iron Pillar dates from Gupta King,
who ruled from 375 - 413 AD

Barely anyone from these thronging groups of tourists, however, cares to find out the history of this pillar, or knows that it has been something of a riddle for people�historians, archaeologists, palaeographers, metallurgists, etc�for close to a century and a half. The pillar is now located in Delhi, although one knows almost for certain that it was moved to that place from somewhere in Madhya Pradesh about a thousand years ago. But, somehow, in my own mind, it has come to be associated also with Shimla. For that is where I have been hearing of it mostly of late.

When I was there last year, at the Indian Institute of Advanced Study(IIAS), a series of lectures on the Iron Pillar were being delivered by a visiting scholar, a well-known metallurgist, Prof R. Balasubramaniam of the IIT, Kanpur. This year again, when I was in Shimla, the pillar came up, for the institute had brought out a finely detailed publication based on that series of lectures, under the title, "The Delhi Iron Pillar: New Insights." Like last year, however, a debate about the points made in the book ensued again, for there were, and are, scholars at the institute who hold other opinions on the points raised in the book. Each serious study that appears�and Professor Balasubramaniam's is certainly one�adds to the scholarship on this theme, and extends the field further. But nothing, it seems, is finally settled.

Inscription on the rust resilient Iron Pillar from Delhi

Some physical facts about the pillar are reasonably well-established: it is 7.3 metres tall, with one metre below the ground; the diameter is 48 centimetres at the foot, tapering to 29 cm at the top, just below the base of the wonderfully crafted capital; it weighs approximately 6.5 tonnes, and was manufactured by forged welding. But, this said, nearly everything else about the pillar is surrounded by acute controversy: For whom was it made? Exactly when? Where did it originally stand before it was moved to Delhi? What is the true import of the long inscription in Brahmi characters engraved upon it? Who placed the later inscriptions on it, and when? Who had the pillar moved to its present location, and why? What exact processes were followed in forging it into shape at that early a point of time, the 4th/5th century AD? Above all, from the scientists' point of view, what is the secret, the great mystery, behind the fact of its being virtually non-rusting? There seems to be no end to the questions.

Take the case of the Brahmi inscription alone. Readings of this six-line, three-stanza inscription in Sanskrit verse vary considerably, the one most often published being that by Fleet, who translated it in 1888. It speaks, in very poetic terms, of the powerful, all-conquering monarch who had the pillar made: "He on whose arm fame was inscribed by the sword, when in battle in the Vanga countries, he kneaded (and turned) back with (his) breast the enemies who, uniting together, came against him; � he, by the breezes of whose prowess the southern ocean is even still perfumed." But, this eloquent panegyric apart, when it comes to identifying the king with clarity, and giving further details about the erection of the pillar, the inscription suddenly leaves some questions unanswered: obviously, not for those who lived in those early times, but for later generations, for whom so much information was lost in the centuries that have gone by.

Thus, the verse concludes with the words: "He who, having the name of Chandra, carried a beauty of countenance like (the beauty of) the full moon, having in faith fixed his mind upon (the God) Vishnu, (had) this lofty standard of the divine Vishnu set up on the hill (called) Vishnupada." But who exactly was king Chandra remains a puzzle. On other grounds, historical or palaeographic, it can be concluded that the pillar belongs to the Gupta period, but, from among the imperial Guptas, who is it that is referred to here simply by the name of 'Chandra': Chandragupta I, Chandragupta II, also celebrated as Vikramaditya, or, as some firmly believe, Samudragupta? Again, the Guptas were known to have been devotees of Lord Vishnu, but where was this hill called 'Vishnupada' located?

Questions like these are, however, only a relatively simple sample of the issues that centre on the great pillar. There are others, very complex ones, that have engaged the minds of scholars. Prof Balasubramaniam addresses them in his inquiry without once losing sight of the sheer elegance of the pillar, especially of its exquisitely made capital atop which a figure of Garuda, the ' Sun-bird ', who is the vahana of Vishnu, or a chakra, the discus that is his emblem, might once have stood. There are long and detailed chapters on the structural features of the pillar, the methodology of its manufacture, a general inquiry into other large iron objects in ancient India, including the iron pillars in Dhar and Mandu in Madhya Pradesh, Mount Abu in Rajasthan, the Kodachadri Hill in Karnataka. But, understandably, the most densely argued chapter is on the corrosion-resistant nature of this iron pillar, the P-content and the S-content of the low carbon mild steel of which it is made, the process of rust protection, the colour of whatever rust there is, spectroscopic analyses, are all themes, something that has led to its being widely regarded as a 'miracle' of technology, given the times in which the pillar was forged and erected.

With all this, however, will the whole clutch of issues addressed in the book get finally settled, one might ask? I doubt it. But then this is the way it should be; this is how scholarship proceeds.

Corrosion, of a different kind

I was very taken up with a saying of the Buddha, cited from the Dhammapada, which serves as an epigraph at the beginning of the book. This is how it runs:
"As rust, sprung from iron, eats itself away when arisen, even so his own deeds lead the transgressor to states of woe�."

Source: http://www.tribuneindia.com/2002/20020714/spectrum/art.htm


Mystery of Delhi's Iron Pillar unraveled

New Delhi, July 18: Experts at the Indian Institute of Technology have resolved the mystery behind the 1,600-year-old iron pillar in Delhi, which has never corroded despite the capital's harsh weather.

Metallurgists at Kanpur IIT have discovered that a thin layer of "misawite", a compound of iron, oxygen and hydrogen, has protected the cast iron pillar from rust.

The protective film took form within three years after erection of the pillar and has been growing ever so slowly since then. After 1,600 years, the film has grown just one-twentieth of a millimeter thick, according to R. Balasubramaniam of the IIT.

In a report published in the journal Current Science Balasubramanian says, the protective film was formed catalytically by the presence of high amounts of phosphorous in the iron�as much as one per cent against less than 0.05 per cent in today's iron.

The high phosphorous content is a result of the unique iron-making process practiced by ancient Indians, who reduced iron ore into steel in one step by mixing it with charcoal.

Modern blast furnaces, on the other hand, use limestone in place of charcoal yielding molten slag and pig iron that is later converted into steel. In the modern process most phosphorous is carried away by the slag.

The pillar�over seven metres high and weighing more than six tonnes�was erected by Kumara Gupta of Gupta dynasty that ruled northern India in AD 320-540.

Stating that the pillar is "a living testimony to the skill of metallurgists of ancient India", Balasubramaniam said the "kinetic scheme" that his group developed for predicting growth of the protective film may be useful for modeling long-term corrosion behaviour of containers for nuclear storage applications.

Source: Press Trust of India
http://www.expressindia.com/fullstory.php?newsid=12824

Wednesday, January 23, 2008

Semangkuk Bakmi

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.
Saat
menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata:

"Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?'' Ya, tetapi, aku
tidak membawa uang' jawab Ana dengan malu-malu' Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu' jawab si pemilik kedai. 'Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu'.Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.

Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. ' Ada apa nona?' Tanya si pemilik kedai.'tidak apa-apa' aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.'Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !, tetapi,? ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah' 'Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri' katanya kepada pemilik kedai Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata:

"Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya' Ana, terhenyak mendengar hal tersebut.

"Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya.Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah:

"Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, Ibu telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang". Saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.
___________________________________________________________________

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada org lain disekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita.Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita.

From: warjiya.whfg@bks.sulindafin.com

Monday, January 7, 2008

Khilafah - Mewaspadai Agenda Pluralisme

Kenapa ya...seorang muslim sinis terhadap ajarannya sendiri?...sudah iklaskah menjadi seorang muslim?...setidaknya berilah solusi bukan hanya komentar sanggahan, bagaimana seharusnya membangun umat yang selama ini terus terpinggirkan arus globalisme dan sinisme hegemoni barat?...dalam hal ini adalah tanggung jawab setiap insan yang merasa sebagai muslim, tidak mungkin non-muslim yang akan memajukannya. Seharusnya di sini ada ide pemikiran tumbuh bermunculan yang saling men-support, memang benar tidak semua hasil pemikiran itu bagus dan bisa langsung di implementasikan. Diperlukan suatu pertimbangan dan pemilahan yang matang.

Seperti halnya sistem khilafah, itu hanyalah suatu bentuk pemikiran yang muncul. Meskipun secara pribadi belum menerima sepenuhnya ide tersebut. Akan tetapi sumbangsih pemikiran mereka perlu di hargai. Artinya, perhatian terhadap umat ini masih ada.

Ide sistem khilafah muncul mungkin akibat melihat umat ini semakin hari semakin cerai-berai dan porak poranda tanpa arah. Dari luar terus di tekan oleh barat tanpa keadilan yang memadai (lihatlah Palestina, Irak, Afganistan, Iran, Sudan, Libanon, Turki dan sekarang Pakistan, semua di obok-obok bahkan mungkin Indonesia dalam proses, contoh real adalah lepasnya
prov. Timor yang penuh intrik). Dari dalam, salah satunya di gerogoti yang mengatasnamakan pluralisme. Adalah suatu gerakan bawah tanah zionis yang di usung oleh kelompok freemansonry yang penuh rahasia, awal mula kampanye itu dimulai. Doktrinnya “Semper, ubique et ab omnibus”. Melalui istilah-istilah HAM, toleransi, culture, bahasa kasih dll mereka masuk secara lembut meng-infiltrasi kedalam. Uniknya, sasaran mereka adalah para pemikir umat yang tangguh melalui bahasa logika.

Masih segar dalam ingatan kita, bahwa "royal game" mendapat pengkuan halal dari MUI Bandung, bahkan tidak sedikit menamakan dirinya ulama yang menentang terang-terangan RUU pornografi dan porno aksi. Belum lagi isu-isu yang di usung oleh yang mengatasnamakan dirinya islam liberal, munculnya sekte-sekte seperti quran suci, rosul/nabi palsu. Muka mungkin berbeda, tapi dalamnya bisa jadi itu-itu juga. Berat sekali umat ini menanggung beban. Lalu, sumbangsih apa yang telah kita berikan untuk membela umat ini?...

Mereka sadar, bahwa perang frontal melawan muslim tidak akan membawa kemenangan tuntas. Lihatlah! Yerusalam-Palestine yang telah bergejolak ratusan tahun, atau yang terbaru adalah perang Irak dan Afganistan yang tidak kunjung selesai. Bagi seorang muslim, setiap jengkal tanah adalah siar dakwah dan kehormatan yang harus di bela dan di perjuangkan. Akan tetapi mereka tidaklah kehilangan ide, lalu secara licik mengadu domba. Di Palestine Fatah vs Hamas, di Irak ada Syiah melawan Suni, dan di Afganistan Taliban melawan militan pemerintah boneka. Akhinya yang berperang adalah sesama saudara muslim.


Bagi umat muslim, setiap peperangan
akan selalu mendapatkan kemenangan. Meski kalah secara fisik pun, hakikatnya adalah menang. Tidak ada yang melebihi kemenangan selain di terima sahid oleh Penguasa Alam Semesta, bahkan para Nabi pun di buat iri karenanya. Namun, bila itu berperang melawan musuh-musuh Allah. Sekarang kita berperang melawan saudara sendiri, apa yang akan di dapat selain kehancuran. Setiap tetes darah yang keluar dari seorang muslim karena dzolim adalah haram hukumnya.

Saudaraku, untuk menegakan syariat umat ini masih memerlukan penyearah yang harus memiliki bargaining power kuat. Ide khilafah hanyalah merupakan salah satu ide dan pemikiran yang di tawarkan dari sekian ide dan pemikiran lainnya. Mungkin masih di perlukan suatu pembenahan di dalam sistemnya. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Tegaknya syariat di awali dari diri sendiri dan keluarga, adapun untuk umat yang notabenenya multikultur akan lebih komplek lagi. Menyadari setiap tindak tanduk kita di awasi oleh Allah dan akan melalui proses hisab, adalah merupakan suatu kontrol yang baik untuk menahan diri dan proses awal memulai.

Ini hanyalah secuil pemikiran, yang bisa saja salah. Siapa tahu dari anda-lah ide dan pemikiran yang bagus akan muncul, kami sangat menantikannya. Wallahualam bishowab.

Posted by imeki


Life is to contribute ........