Wednesday, June 27, 2007

Edelweis Semusim

Entah sudah berapa kali Anandar bangkit dari tempat duduknya di depan api unggun. Tempat duduk dari tunggul kayu sebesar perut kambing yang telah lama tumbang berpahat alur-alur relief kehidupan bangsa rayap yang nyaman untuk diduduki. Semak-semak eurih di balik tunggul kayu menampilkan rona jingga, memantulkan cahaya perapian diselingi latar kegelapan malam. Sebaris pohon pinus riuh rendah semarak tertiup angin. Tepat dibawahnya, bunga-bunga perdu rhododenrum telah melayu terbakar siangnya dari terik matahari musim panas bulan agustus. Anicca – tiada mahkluk yang abadi.

Tenda dome biru tua di seberang tunggul kayu cemara di depan api unggun, tampil anggun bergoyang-goyang seirama hembusan angin lembah Ciremai. Sekoyong –koyong sekelebatan cahaya melintas sesaat lalu musnah diiringi hentakan bunyi benda keras bertumbukan, samar-samar sebentuk papan kayu bergelayutan pada sebatang tiang besi dalam temaram kilauan cahaya api unggun yang meliuk menari tertiup angin, “1600 dpl shelter 1” terbaca. Sesekali melintas kelompok-kelompok kecil pendaki berpakaian tebal yang sengaja memaksa menembus malam menuju shelter 2 di lereng gunung.

Dari tunggul kayu itu, puncak Ciremai tampak gelap angker. Diselimuti kabut tebal, kokoh menjulang menembus dinginnya udara malam. Sementara dari arah bawah lembah, kerlip lampu di perkampungan penduduk Argalingga menyuguhkan siluit warna-warni. Mengahapus rasa ngeri dalam gulita, menghibur hati nan lara.

Anandar laun-laun bangkit dan berjalan beberapa langkah ke arah gunung, matanya yang tajam menatap nanar ke sekelilingnya. Kemudian buru-buru kembali duduk di tunggul kayu. Seolah-olah ia tak ingin berpisah dari tunggul kayu itu, meski hanya sewaktu. Di pandanginya gelas yang terisi coklat hangat tinggal setengah disamping nesting lalu dihirupnya hingga habis, tak ada lagi yang tersisa buatnya bahkan buat semut sekalipun.

Tetapi, Raiha Sairahana belum juga muncul di tunggul itu. Tunggul kayu di base camp shelter 1 lereng gunung Ciremai, tempat ia menanti sebuah janji dan ia akan terus seperti itu, tetap menanti.
___________________________________________________________________

Sore terakhirnya di kaki Ciremai menjelang pendakian, tentu saja dihabiskan dengan banyak persiapan dan istirahat. Mendaki puncak tertinggi di jawa barat telah membuatnya harus berada di tempat sunyi-senyap dingin itu selama dua hari dua malam. Kegiatan mendaki gunung telah ditekuni Anandar bersama club Lintas Wana selama satu tahun terakhir. Bukan suatu kebetulan belaka menekuni hobi ini. Adalah suatu petualangan dari banyak perjalanan yang telah ia lalui, sekedar mencari jatidiri? Entahlah.

Seperti sore sebelumnya dalam dua hari terakhir, Anandar selalu duduk di tunggul kayu yang sama. Makan mie rebus yang sama pula. Ia tak pernah menyia-nyiakan waktu untuk melihat-lihat aneka rasa mie yang akan di santap. Setiap detiknya ia manfaatkan untuk memandangi wajah ayu Raiha yang terduduk anteng di sampingnya menghadapi perapian api ungun, api yang menjilati nesting tempat merebus mie. Anandar tahu, ia tak akan sempat lagi melihat wajah mungil itu sampai saatnya kembali dari puncak nanti.

Anandar perlahan mengangkat nesting mie dari perapian yang sudah terisi mie panas. Lalu membagi sama rata dua piring setelah bumbunya di aduk kira-kira merata. Piring selanjutnya diserahkan pada Raiha hati-hati. Dengan kedua tangan mungilnya, Raiha menyambut pelan dengan sedikit tertunduk sehingga ubun-ubunnya tampak sekali oleh Anandar.

“ Silahkan, makan geulis” kata Anandar.
Bahkan dalam menunduk seperti itu Anandar masih sempat melihat wajah Raiha merona. Ah, betapa ingin Anandar menyentuh pipi selembut itu.
“ Kenapa akang selalu memanggilku begitu?”
Geulis dalam bahasa kita artinya cantik, bukan? Dan namaku bukan akang. Panggil aku Anandar. Pramudya Anandar! Hanya aku yang akan memangilmu geulis, semua orang sudah memanggilmu Raiha. Aku ingin kamu mengenangku dengan kata itu.”

Sejenak Anandar tertahan melepas pegangan nesting yang sudah bersambut kedua tangan halus Raiha. Sejenak jemari lembut itu menyentuh genggaman tangannya menghangatkan perasaan kalbu dalam dinginnya aroma malam. Dipandangi jari-jemari yang begitu bersih terpelihara, putih bersih dengan buku-bukunya yang berona merah muda.

Raiha begitu cantik, manis dan lembut. Tetapi bukanlah kecantikan yang membuat Anandar jatuh hati. Berbagai hal kecil yang dimiliki Raiha membuat Anandar terjatuh. Ketika tersipu, lesung pipinya merona merah. Geligi gingsulnya tak beraturan, tetapi menyajikan harmoni indah. Butir-butir keringat lembut menghiasi keningnya diantara bulu-bulu halus yang tumbuh indah. Rambut hitam tergerai erat memeluk pinggang ramping berselimut penutup kain putih. Suatu keajaiban unik saat berpadu kerendahan tutur kata dalam kehalusan budi.

Anandar melepaskan pegangan nesting perlahan memberi kesempatan Raiha untuk menariknya. Sesaat ada rasa sesal yang dalam, mengapa terlalu cepat menuntaskan sentuhan itu? Anandar masih ingin manikmati jari-jari polos tanpa sebentuk cincin perhiasan itu lebih lama lagi. Jari-jemari bermahkotakan kuku-kuku indah yang terawat rapi tanpa pewarna. Ah, ingin sekali Anandar menarik segenggam tangan halus itu ke bibirnya, kemudian mengecupnya lembut beberapa masa. Betapa ia pun ingin sekali membawa jari-jemari lembut itu untuk mengelus dan membelai pipinya dalam kedamaian mahligai hati.

Segera Raiha menarik pegangan nesting mendekat ke hadapannya, membiarkan aroma bumbu uap panas mie rebus menyapu puas menikmati seluruh wajahnya yang putih memerah.
“Rasanya dengan kondisimu sekarang ini, tidak akan memungkinkan untuk bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak Ciremai” kata Anandar memulai pembicaraan

Anandar tahu ia tak akan mendapatkan suatu patah kata pun darinya. Segumpal perasaan kecewa dan sesal bercampur aduk dalam dada Raiha telah mencekik tengorokan. Harapan besar berlalu sudah dari hadapannya, mendaki puncak Ciremai untuk memetik setangkai edelweis. Mereguk semangat perjuangan dan pengorbanan yang tak pernah padam – Sebuah cinta yang teramat luhur.

“Mengenai keinginanmu, bila tidak keberatan biarlah aku yang akan mengambilkannya untukmu.” Lanjutnya
“Tetapi,...bukankah sangat berbahaya juga buatmu?” ada kegundahan dalam hati Raiha.
“Ini sore terakhirku bersamamu, esok pagi aku segera berangkat naik ke puncak. Ingin sekali kupetik edelweis itu untuk kupersembahkan kepadamu” kata Anandar mengacuhkan peringatan.

Raiha mengangkat wajahnya tersentak. Ditatapnya wajah Anandar. Sejenak dibiarkanya pandangan Anandar menyapu setiap jengkal wajahnya tanpa berkedip. Ah, air matakah yang terlihat Anandar bergelanyut di sudut-sudut mata Raiha? Sosok dihadapanya seolah-olah tampak begitu bening, seakan-akan pandangannya menembus raga. Pada hati itu, terlihat suatu relung cinta yang teramat bersih. Perlahan, air ketulusan itu mengalir membentuk sungai ketakberdayaan pada sejemput pipi lembut Raiha. Pipi lugu yang merona tanpa setumpuk debu pemulas. Manis terasa bahkan tanpa pemanis sekalipun

"Aku takut!..masih adakah waktu yang tersisa? Aku ingin akang tetap menemaniku disini..Aku suka tempat dan suasana ini, entah kapan bisa seperti ini lagi" akhirnya, dalam tertunduk sebutir air mata telah jatuh menetes. Lama sudah Raiha untuk menahan rasa itu.
“Percayalah!...kita akan selalu kembali ke tempat ini bila setiap musim datang” sambil menarik sebelah tangan Raiha kedalam gengaman tangan kukuh, menyejukan.
“Janji?” bisik Raiha. Sejentik kelingking lentik mengail memancing ke udara.
“Mmm” sambut Anandar segera, menutup pembicaraan.
Malam kian larut dalam gelap, hanya menyisakan onggokan bara api yang sesekali menerang tertiup angin.

Sesaat sebelum gelap sirna, sebelum Anandar dan para pendaki lainnya sampai di alam nyata dari buaian mimpi. Sesosok bayangan ringkih ber-carrier meniti undak demi undak tanjakan terjal menuju puncak Ciremai, licin dan berkerikil. Di iringi gerimis dan kabut tebal, bayangan itu telah menghilang tak lebih sepeminuman teh. Berlawan dengannya, tidak sedikit pendaki tampak tergesa-gesa turun muncul dari balik kabut gelap, bahkan setengah berlari. Tak berapa lama, udara di sekitar berubah menjadi lebih terasa dingin kemudian gemuruh angin kencang tiba-tiba menerpa seolah-olah ingin menyertai kepergian sosok tadi menuju puncak. Sekoyong-koyong sekelebatan petir berlalu membelah gelap menyilaukan mata. Lambat laun gerimis pun berubah menjadi hujan lebat. Hujan tersebut tidaklah terlalu membasahkan para pendaki namun cukup menyakitkan bila mengenai tubuh meski berbalut raincoat tebal. Bila diperhatikan, air hujan itu membentuk gumpalan padat keputihan, Aah!..badai es.
___________________________________________________________________

Setahun telah berlalu, edelweis itu masih tergengam dalam balutan tangan hampa. Tiada lagi tempat untuk jemari indah menyambut, dan tak akan ada lagi yang lainnya. Tafkala takdir datang, manusia sekedar puing-puing berserakan. Menggunung asa tanpa keberdayaan. Bersama angin para pecinta telah pergi menuju ke kehidupan lain alam yang sama sekali tidaklah sama.

Sayup sayup terdengar lirih menghiba, “Kekasih, telah kupenuhi janjiku, semoga engkau tenang disana, percayalah!.. musim depan aku akan kembali kesini menunggumu dan terus akan menungu” lalu suara itu hilang di telan kebisuan malam.

Sebelum cahaya datang, tenda dome biru itu telah lenyap bersama harapan. Meningalkan asap yang mengalun ke angkasa dari perapian api ungun yang tiada akan pernah menyala lagi, sesaat kemudian buyar tertiup angin gunung. Pada tunggul kayu itu, tampak seikat edelweis tergeletak menguning.




Cikarang, memory di penghujung bulan agustus
by Taman Ilalang

eurih - ilalang
rhododenrum - sejenis bunga perdu-perduan
Anicca - fana
dome - berbentuk kubah
dpl - di atas permukaan laut
shelter - pos peristirahatan sementara
nesting - wadah penyimpanan, rantang
base camp - pos utama, tempat kegiatan utama
club - perkumpulan
ayu - cantik, manis, molek
anteng - kalem, santai
geulis - cantik, manis, molek
akang - abang
edelweis - sejenis bunga perdu-perduan, biasa tumbuh di sekitar puncak gunung. tidak melayu.
carrier - tas ransel
raincoat - jas hujan

No comments: